Beda Agama, Boleh Kawin? (2)

Dalam tulisan yang pertama, sudah kami jelaskan mengenai aspek hukum Perkawinan Beda Agama serta sudah pula kami uraikan mengenai larangan Perkawinan Beda Agama untuk kalangan agama Islam atau dengan kata lain tidak dimungkinkan bagi seorang muslim untuk kawin dengan non muslim. Sekarang bagaimana untuk Perkawinan Beda Agama di kalangan Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha? Apakah mungkin terjadi Perkawinan Beda Agama bagi agama-agama di luar Islam? Bagaimanakah praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari terhadap mereka yang kawin beda agama?

Agama Kristen

Dalam Agama Kristen terdapat aturan yang berbunyi sebagai berikut “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?” (2 Korintus pasal (6) ayat ke-14)

Dengan demikian, dalam Agama Kristen Perkawinan Beda Agama juga tidak dapat diterima. Agama Kristen adalah cahaya terang  sehingga dengan demikian tidak mungkin bersatu dengan kegelapan. Agama-agama lain diluar Agama Kristen merupakan agama kegelapan dan karna itu tidak mungkin bagi mereka yang beragama Kristen kawin dengan yang berbeda agama.

Dalam praktek, banyak umat Kristen yang kawin dengan umat agama lain, caranya mereka kawin dengan menggunakan cara Agama Kristen atau sesuai dengan prosedur Gereja Kristen dan pasanganya yang tidak beragama Kristen menyetujui prosesi perkawinan tersebut. Sehingga dengan demikian perkawinan dilaksanakan secara Agama Kristen, atau Agama Kristen Protestan. Setelah perkawinan tersebut, pasangan yang tidak beragama Kristen dapat menjalankan ibadah sesuai keyakinanya atau ikut pasanganya menjadi penganut Agama Kristen Protestan.

Agama Katolik

Perkawinan dalam Agama Katolik didasarkan pada KHK (Kitab Hukum Kanonik). Prinsip Perkawinan dalam Katolik ialah monogami dan tidak terceraikan atau tidak boleh bercerai. Perkawinan dalam Agama Katolik didasarkan Pemberkatan Trinitas yaitu Allah Bapa Allah Putra dan Allah Roh Kudus. Perkawinan harus pula melalui serangkaian kursus agar dapat dipastikan pasangan yang kawin baik sesama beragama Katolik atau beda agama setelah terjadi perkawinan tidak bercerai. Kursus Perkawinan Agama Katolik berlangsung dalam waktu tertentu, ada yang 3 bulan, bahkan sekarang menjadi 1 tahun. Materi kursusnya pun sangat beragam, mulai dari Bimbingan Perkawinan Secara Katolik, dasar-dasar perkawinan sesuai dengan UU Perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang sekarang dirubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974. Disamping kedua hal tersebut di atas, kursus Perkawinan Katolik juga memberikan materi mengenai ekonomi keluarga, kesejahteraan keluarga, kesehatan, produksi dan kesehatan anak.

Kursus Perkawinan Katolik sekarang juga dikembangkan di berbagai agama, termasuk di Agama Buddha. Mereka yang kawin secara Katolik tidak mungkin kawin untuk kedua kalinya, artinya jika pasangan tersebut bercerai maka perkawinan yang kedua tidak mungkin lagi memperoleh sakramen Perkawinan Katolik sebab Perkawinan Katolik bersifat sekali seumur hidup.

Agama Hindu

Perkawinan Beda Agama secara Agama Hindu adalah tidak dapat dilaksanakan, karena menurut Nengah Dana dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menuturkan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah yajna, bentuk kewajiban pengabdian kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Mahakuasa). Dalam upacara perkawinan berdasarkan kitab suci Hindu (Kutawa Manawa/Dresta) atau tradisi suci turun temurun, calon pengantin wanita dan pria harus memeluk agama Hindu. Jika belum sama maka wajib dilaksanakan upacara sudhi vadani untuk bersaksi kepada Hyang Widhi Wasa sebagai penganut Hindu. Ini juga berkaitan dengan hak dan kewajiban suami-istri.

Jadi tidak mungkin bagi Agama Hindu melaksanakan Perkawinan Beda Agama, mereka yang kawin beda agama dianggap melakukan perzinahan (samgrhana). Dalam praktek sering terjadi Perkawinan Beda Agama terutama bagi mereka yang berasal dari negara-negara Barat atau dengan orang bule. Orang-orang Barat itu banyak yang Anostik atau tidak bertuhan, sehingga tradisi perkawinan Hindu Bali justru merupakan pengalaman yang mengasyikan mereka. Apakah bule-bule itu kemudian menjadi Hindu setelah acara perkawinan tersebut? Tidak ada survei mengenai hal ini, tetapi ada juga yang kemudian menjadi pemeluk Agama Hindu, namun tidak jarang pula mereka kembali ke Anostik atau bahkan Atheis.

Agama Buddha

Perkawinan secara Buddhis diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami – istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia sesuai dengan Dhamma.

Dasar Perkawinan Buddhis terdapat dalam Samajivi Sutta, yang telah di tunjukan oleh Sang Buddha yaitu perkawinan yang harmonis, yang serasi, selaras dan seimbang, yaitu bila suami – istri itu terdapat persamaan atau persesuaian dalam Saddha (keyakinan), Sila (kesusilaan), Caga (kemurahan hati), dan Panna (kebijaksanaan) (Anguttara N. II,62).

Jadi dalam Perkawinan Agama Buddha tidak ada larangan Perkawinan Beda Agama.

Kesamaan Saddha (keyakinan) tidak berarti harus sama agama, namun tentu saja kesamaan Saddha lebih banyak terjadi jika pasangan tersebut mempunyai intelektualitas dan perilaku yang baik dan perilaku yang baik dalam kehidupan mereka. Walaupun sama-sama beragama Buddha, tidak menjamin kedua orang tersebut mempunyai Saddha (keyakinan) yang sama. Sebagai contoh, seorang yang beragama Buddha kawin dengan seorang yang tidak beragama Buddha namun mereka mempunyai keyakinan yang sama yaitu dalam hal murah hati maka jika pasanganya melaksanakan dana terhadap suatu kegiatan sosial seperti menolong korban bencana alam, melakukan donor darah dan macam-macam kegiatan sosial lainya maka pasanganya yang tidak beragama Buddha akan mendukung.

Berbeda jika pasangan tersebut beda keyakinan, walaupun keduanya beragama Buddha namun karna salah satu pasangan tersebut kikir, maka jika pasangan lainya melakukan kegiatan sosial maka pasangan yang kikir tersebut akan memprotes dan keduanya mungkin saja terlibat dalam konflik argumentasi. Jadi persoalanya menurut sang Buddha bukan di agamanya, tetapi justru di keyakinanya dan hal ini memerlukan pendekatan intelektualitas serta pengalaman yang sama.

Secara prosedural Agama Buddha, Agama Katolik, serta Agama Kristen, Perkawinan Beda Agama banyak sekali terjadi. Bahkan salah satu sebab penurunan umat Buddha terjadi karena perkawinan, dimana pasangan beragama Buddha pindah ke agama milik pasanganya. Misalnya sebelumnya ia beragama Buddha, lalu setelah kawin dia menjadi agama lain. Hal ini perlu mendapat perhatian pimpinan Agama Buddh adalam pembinaan umat.

Akhirnya bagi pimpinan Agama Buddha, harus pula menyadari bahwa angka perceraian yang terjadi sekarang ini sangatlah tinggi dan hal ini harus pula diatasi dengan cara yang bijaksana, salah satunya melaksanakan kursus praperkawinan, seperti yang dilaksanakan teman-teman Katolik atau bimbingan perkawinan bagi mereka yang sudah kawin.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kebahagiaan umat.

Metacitena

up Sugianto


 


 


 

 


Jasa Konsultasi

1Masalah pidana baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan

2Masalah perdata antara lain : pertanahan, keluarga (perceraian, warisan, adopsi) wanprestasi, perbuatan melawan hukum, baik di Pengadilan maupun di luar Pengadilan.

3Masalah Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Niaga.

4Masalah ketenagakerjaan, baik pada tingkat BIPARTIJ antara Pengusaha dan Pekerja, TRIPARTIJ antara Pengusaha, Pekerja Dinas/Suku Dinas Tenaga Kerja maupun pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial.

Hubungi Kami Sekarang

(021)58359128 / 081298528809