Beda Agama, Boleh Kawin?

Ketika UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan berlaku maka praktis perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan lagi karena berdasarkan pasal (2) Perkawinan ini maka perkawinan beda agama tidak mungkin dilakukan. Pada waktu itu mereka yang berbeda agama dapat kawin karna salah satu pihak menundukkan diri kepada agama pasanganya. Misalnya orang beragama Buddha kawin dengan seorang beragama Kristen, maka salah satu pihak harus memilih apakah menggunakan agama Buddha atau Kristen. Dengan cara itu kedua pasangan yang berbeda agama tersebut dapat kawin.

Cara lain ialah mereka kawin di luar negeri. Biasanya di Singapura atau Australia atau bahkan ada yang ke Hongkong. Setelah kawin disana mereka pulang ke Indonesia untuk mencatat kan perkawinanya di kantor Catatan Sipil setempat, namun sekarang berdasarkan UU No. 24 tahun 2013 yunto UU 23 tahun 2006 Tentang tadminduk/Administrasi Kependudukan maka perkawinan beda agama dapat di catat oleh Kantor Catatan Sipil tanpa harus ke luar negeri atau tanpa harus menundukan diri ke salah satu agama. Dengan demikian walaupun berbeda agama perkawinan mereka dapat dicatat di kantor Catatan Sipil, tapi tidak di KUA/Kantor Urusan Agama yang perkawinannya dengan menggunakan Hukum Islam.

 Menurut MUI perkawinan beda agama tidak dimungkinkan, hal ini karena mesti didasarkan Al-Quran dan Hadits. Sehingga, ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat sah perkawinan tidak mungkin dilakukan oleh para Pemohon yang memiliki perbedaan agama. Jadi fatwa MUI melarang perkawinan beda agama. Pencatatan perkawinan beda agama di mungkinkan berdasarkan pasal 35 UU Adminduk. Dalam pasal 35 ditentukan bahwa “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.” Dan berdasarkan pasal 34 dan ditentukan bahwa “(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. (3)  Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing diberikan kepada suami dan istri. (4)  Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam  dilakukan oleh KUAKec. (5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada Instansi Pelaksana dalam waktu  paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah pencatatan perkawinan dilaksanakan. (6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil. (7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.

Jadi berdasarkan kedua ketentuan di atas, maka perkawinan beda agama dapat di catat oleh Kantor Catatan Sipil setempat, namun Kantor Catatan Sipil tidak punya kewengan mengesahkan perkawinan tersebut. Capil hanya mencatat hubungan hukum antara kedua manusia yang berbeda agama itu dan pencatatanya pun hanya boleh dilaksanakan oleh Kantor Catatan Sipil.

Proses Perkawinan Beda Agama

Dari tulisan di atas, jelas tidak dimungkinkan terjadinya perkawinan beda agama berdasarkan pasal 2 dan pasal 8 huruf f UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun demikian berdasarkan pasal 35 huruf a UU Adminduk maka perkawinan beda agama dapat dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat dan memperoleh Akta Perkawinan. Undang-undang Hak Asasi Manusia No 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa terdapat setidaknya ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk tentang pemilihan pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan. Dengan demikian perkawinan beda agama dapat dicatatkan dan memperoleh Akta Perkawinan, namun untuk itu diperlukan penetapan Pengadilan Negeri yang memerintahkan pencatatan tersebut. 

Pasangan yang hendak kawin namun berbeda agama terlebih dahulu melaksanakan perkawinan berdasarkan salah satu agama dari pasangan tersebut. Misalnya seorang beragama Buddha hendak kawin dengan seorang beragama Kristen, maka mereka melaksanakan pemberkatan perkawinan berdasarkan salah satu agama tersebut, kemudian mereka mengajukan permohonan ke Pengadilan negeri setempat untuk memperoleh penetapan agar perkawinan tersebut dicatatkan oleh catatan sipil, sehingga mereka memperoleh Akta Perkawinan.

Selama ini perkawinan beda agama dilaksanakan juga di berbagai vihara kita dengan cara perkawinan tersebut berlangsung secara Buddhis, namun demikian KTP yang bersangkutan harus beragama Buddha atau bagi mereka yang tidak beragama Buddha ia menandatangani pernyataan yang menyatakan bersedia menerima pemberkatan perkawinan secara Buddhis tanpa melakukan penetapan ke Pengadilan Negeri setempat. Jadi tanpa penetapanpun banyak terjadi perkawinan beda agama. Dalam tulisan berikutnya penulis akan menyampaikan praktek perkawinan beda agama di masyarakat.

up Sugianto


Jasa Konsultasi

1Masalah pidana baik di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan

2Masalah perdata antara lain : pertanahan, keluarga (perceraian, warisan, adopsi) wanprestasi, perbuatan melawan hukum, baik di Pengadilan maupun di luar Pengadilan.

3Masalah Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Niaga.

4Masalah ketenagakerjaan, baik pada tingkat BIPARTIJ antara Pengusaha dan Pekerja, TRIPARTIJ antara Pengusaha, Pekerja Dinas/Suku Dinas Tenaga Kerja maupun pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial.

Hubungi Kami Sekarang

(021)58359128 / 081298528809